Sabtu, 22 Januari 2011

Setelah berumur 95 tahun, PSM Makassar Klub Indonesia Pertama Yang Mengalahkan Hegemoni Jawa Tidak Mengetahui Nasib Kedepannya Bagaimana ?


Saya pernah di-SMS Ramah Praeska, wartawan Fajar. Isi SMS-nya, meminta tanggapan saya berkaitan mundurnya PSM dari kompetisi Indonesia Super League. Kemudian, bagaimana kira-kra nasib PSM ke depan.

SMS itu dia tanyakan, 26 Desember 2010. Tapi sayang, saya baca SMS itu dua hari kemudian. Saya lalu ,minta maaf kepada Ramah.

Tapi terus terang, pertanyaan Ramah itu sampai hari ini masih menggelitik hati saya. Terutama pertanyaan kedua, bagaimana nasib PSM ke depan? Saya menilai pertanyaan ini tetap actual dan menarik jika saya ungkapkan dalam tulisan ini. Sebab, mundurnya PSM dari kompetisi ISL, sebuah kejutan di akhir tahun.

Dalam tulisan ini saya tidak lagi mengungkapkan mengapa PSM mundur dan argumentasinya. Juga tidak akan mengungkapkan kembali sanksi yang dijatuhkan PSSI terhadap PSM yang terdegradasi ke divisi satu.

Yang menjadi pemikiran saya ialah bagaimana menyelamatkan PSM dari sanksi PSSI dan FIFA jika Andi Oddang dkk, tampil perdana melawan Persema, 22 Januari 2011 di kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI). PSSI pasti memberi sanksi, seperti halnya Persema dan Persibo Bojonegoro. Mereka dicoret dari keanggotaan PSSI.

Hal ini perlu kita renungkan dan pikirkan bersama, terutama oleh Ketua Umum PSM. Sebab PSM bukan milik perorangan atau kelompok, tetapi milik masyarakat Sulsel. PSM yang lahir tahun 1915, memiliki seabrek prestasi di kancah persepakbolaan nasional. Terutama pada era Perserikataan, saat trio legendaries PSM: Ramang, Suardi, Sunar, masih membela panji PSM di lapangan Karebosi yang berpagar drum aspal.

Seandainya PSM dicoret sebagai anggota PSSI, betapa ruginya kita. Pasti PSM tidak lagi mengikuti kompetisi yang dilaksanakan oleh PSSI (AFC dan FIFA), baik liga professional maupun liga amatir. Termasuk kompetisi usia 15 dan 18 tahun.

Terus terang, saya tidak apariori dengan kehadiran LPI. Malah, konsep pembinaan yang dituangkan dalam buku putih Reformasi Sepak Bola Indonesia, saya nilai sangat bagus, kendati implemntasinya masih mengundang kekhawatiran. Ya, tujuannya sama dengan PSSI, berhasrat mengangkat prestasi persepakbolaan nasional kita yang sekarang terpuruk.

Tanpa bermaksud membela, saya kira PSSI tetap membuka diri jika ada orang yang ingin memajukan sepak bola di Indonesia. Sepanjang itu tidak bertentangan dengan statuta, regulasi FIFA, di mana PSSI bukan menunjukkan arogansi, tetapi menegakkan dan menghormati tatanan organisasi yang ada.

Seandainya, legendaris trio PSM masih hidup dan menyaksikan PSM dicoret sebagai anggota PSSI, mereka akan marah besar bahkan menangis. Mengapa? Sebab, sebagai pemain mereka begitu membanggakan PSM dan mau mati demi PSM.

Ramang, Suardi, Sunar, termasuk pemain idola saya waktu kecil. Tetapi puluhan tahun kemudian mereka menjadi sahabat saya. Bahkan teman diskusi sepak bola pada setiap kesempatan.

Baik di rumah Sunar di Jalan Titang atau di rumah Ramang di Jalan Andi Mappanyukki. Kadang-kadang di kantor KONI Sulsel jika Suardi datang dari Jakarta.

Kesan paling dalam yang bias saya petik, mereka bangga telah membela panji PSM tanpa pamrih. Memang saat itu era perserikatan. Sekarang era sepak bola professional. Nilai telah tergeser. Sepertinya, duit dan politik jadi panglima.

Sebagai wartawan olahraga senior yang sudah meliput kegiatan PSM selama 40 tahun, saya hanya bisa mengelus nada merenungkan nasib PSM di masa datang. PSM harus diselamatkan, jangan dikorbankan. Ayo kita selamatkan PSM! [Sumber Harian Fajar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar